KEWAJIBAN PERPAJAKAN

SELF ASSESSMENT SYSTEM Indonesia pada dasarnya menerapkan prinsip self assessment system dalam perpajakannya, dimana setiap orang/badan yan...

Saturday, 24 April 2021

Anda Punya Perusahaan Baru? Perhatikan Kewajiban Perpajakan Anda, Agar Terhindar Sanksi

 

Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem Self Assessment yakni Wajib Pajak (WP) diberi kepercayaan untuk a) mendaftarkan diri, b) menghitung, c) memperhitungkan, d) menyetorkan ke kas negara, dan e) melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.

Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman bagi wajib pajak baru terkait ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Kekeliruan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dapat berakibat kerugian bagi perusahaan itu sendiri karena resiko sanksi yang akan dikenakan atas kesalahan tersebut.

Untuk menghindari resiko-resiko dalam perpajakan, maka setiap wajib pajak perlu memahami apa saja kewajiban pajak bagi perusahaan baru. Berikut secara garis besar kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak:

1.Kewajiban Mendaftarkan Diri
Kewajiban mendaftarkan diri untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dimulai saat terpenuhinya syarat subjektif maupun objektif. Namun pada prakteknya, saat suatu badan usaha telah didirikan dan mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM yang melegalisasi berdirinya suatu badan usaha, biasanya langsung dilanjutkan prosesnya untuk didaftarkan NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak, meskipun syarat objektifnya belum terpenuhi yaitu belum memperoleh penghasilan. Kewajiban perpajakan sudah melekat saat NPWP telah terbit meskipun perusahaan belum melakukan kegiatan operasional usaha.

2.Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Saat omset usaha telah mencapai Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak, maka saat itulah wajib pajak wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun demikian, meskipun belum mencapai batas omset Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak, wajib pajak dapat memilih melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP, wajib melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas setiap transaksi penyerahan barang dan atau jasanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang PPN. Pemungutan PPN dilakukan melalui penerbitan Faktur Pajak dengan menggunakan aplikasi eFaktur dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

3.Kewajiban Menghitung, Menyetor, dan Melapokan Pajak Terutang
Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang ke kantor pelayanan pajak untuk seluruh jenis pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Masa maupun SPT Tahunan. Kewajiban pelaporan secara umum adalah sebagai berikut:

a.SPT Masa PPh Pasal 21/26
Adalah untuk melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak atas penghasilan yang diterima pegawai. Penyetoran PPh Pasal 21 terutang dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan pelaporannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Namun jika jumlah PPh Pasal 21 yang terutang NIHIL, maka pelaporan PPh Pasal 21 tidak perlu dilakukan kecuali hanya untuk Masa Desember. Tata cara pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21 dapat dipelajari dengan membaca petunjuknya yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor 16/PJ/2016.

b.SPT Masa PPh Pasal 23/26
Adalah untuk melaporkan pemotongan pajak yang dilakukan atas transaksi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan atau bangunan, serta atas imbalan sehubungan dengan jasa pihak lain.

Pemotongan pajak juga dilakukan terhadap penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain berupa deviden, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus dan penghasilan sejenisnya kepada selain orang pribadi.

Penyetoran PPh Pasal 23 yang dipotong disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan pelaporannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Pelaporan PPh Pasal 23/26 bersifat insidentil, artinya hanya dilaporkan jika terdapat objek dan pajak yang terutang.

c.SPT Masa PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 adalah angsuran pajak yang merupakan kredit pajak atas PPh yang terutang pada akhir tahun pajak. Untuk wajib pajak baru, PPh Pasal 25 untuk masa pajak pada tahun berjalan ditetapkan sebesar NIHIL. Ketentuan ini hanya berlaku bagi wajib pajak baru selain wajib pajak masuk bursa, bank, BUMN/D, wajib pajak lainnya yang mempunya kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala serta wajib pajak orang pribadi tertentu. Juga tidak berlaku bagi wajib pajak yang melakukan peleburan, penggabungan, pengambilalihan usaha dan atau pemekaran usaha.
PPh Pasal 25 tahun berikutnya dihitung berdasarkan PPh terutang atas laba bersih fiskal tahun sebelumnya yang telah dikurangi dengan kompensasi kerugian (jika ada) dikurangi dengan kredit pajak kemudian dibagi 12. Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan pelaporannya tidak perlu dilakukan karena setoran pajak telah online antara sistem di bank dengan DJP.

d.SPT Masa PPh Final Pasal 4 (2)
PPh Final Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas objek pajak yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang. Objek pajak PPh pasal 4 ayat (2) di antaranya adalah sebagai berikut:
•Peredaran bruto tertentu yaitu penghasilan usaha di bawah Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dikenakan tarif UMKM sebesar 0,5%;
•Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing;
•Hadiah berupa lotere/undian;
•Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
•Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan/atau bangunan; dan
•Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

e. SPT Masa PPN / PPnBM

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak), maka terdapat kewajiban dalam memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN (Pajak Pertambahan Nilainya). Termasuk kewajiban untuk membuat faktur pajak, dan hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan (PM). 


f.SPT Tahunan

SPT Tahunan adalah formulir yang digunakan untuk melaporkan jumlah penghasilan, harta, kewajiban dan modal serta pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. 

- Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun pajak, which is normally tanggal 31 Maret tahun berikutnya

- Bagi wajib pajak badan, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau akhir bulan april bagi yang menggunakan tahun kalender sebagai tahun bukunya.

Berdasarkan laba bersih fiskal, pajak penghasilan dihitung dengan mengalikan tarif pasal 17 sesuai dengan undang-undang PPh. Sedangkan bagi wajib pajak yang pengenaan pajaknya bersifat final, PPh yang telah disetor atau dipotong merupakan pelunasan atas kewajiban pajaknya sehingga pada akhir tahun pajak tidak lagi dihitung jumlah pajak terutangnya.

Demikianlah secara garis besar kewajiban-kewajiban perpajakan yang melekat bagi wajib pajak baru yang wajib diperhatikan dan dilakukan agar terhindar dari resiko sanksi perpajakan.

Jika wajib pajak mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kewajiban penghitungan dan pelaporan pajaknya, Kami siap membantu Anda !!

Thursday, 31 December 2020

KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI (NPWP) DAN MELAPORKAN USAHA (PKP)


 

KEWAJIBAN PERPAJAKAN

SELF ASSESSMENT SYSTEM

Indonesia pada dasarnya menerapkan prinsip self assessment system dalam perpajakannya, dimana setiap orang/badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif memiliki kewajban perpajakan, yaitu:

  1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP / melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  2. Menghitung pajak terutang
  3. Memperhitungkan pajak yang telah dipungut/setor dan agregatnya
  4. Menyetorkan pajak ke kas negara
  5. Melaporkan pajak melalui SPT (Surat Pemberitahuan), baik Masa (Bulanan) ataupun Tahunan

KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Pajak memang peran peran penting dalam penerimaan negara. Sebagai Subjek pajak, tentu setiap entitas (Orang Priadi/Badan) harus menyadari hal tersebut dan dan menyelaraskannya dengan kepentingan entitas agar entitas juga masih dapat meraih tujuannya sembari tetap comply terhadap negara. Berikut merupakan jenis-jenis pajak yang harus dipenuhi oleh entitas pada umumnya (bisa berbeda untuk setiap entitas sesuai dengan keadaan/kondisinya):

  • PPN
  • PPh Pasal 21/26
  • PPh Pasal 25
  • PPh Pasal 23/26
  • PPh Pasal 22
  • PPh Pasal 4 ayat (2) (Final), termasuk WP PP 46/ PP 23
  • PPh Orang Pribadi
  • PPh Badan
SANKSI PERPAJAKAN

Untuk menegakkan aturan perpajakan, negara memberlakukan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan bentuknya bermacam, tergantung dari pelanggaran yang ada. Pada prinsipnya terbagi menjadi dua (2) kategori:
  1. Sanksi yang bersifat Administratif. Sanksi ini misalnya keterlambatan/tidak lapor SPT, sanksi 2% bulan (atau rate sesuai KMK berdasarkan Omibus Law) maximal 24 bulan, sanksi kenaikan 50%, sanksi kenaikan 100% dan lain sebagainya. 
  2. Sanksi yang bersifat Pidana. Misalnya, penjara 6 bulan hingga 6 tahun tahun, denda 2x lipat atau 4x lipat dari pajak yang terutang dan lain sebagainya.
Sebagai entitas, tentu sebisa mungkin untuk menghindari/meminimalisir sanksi-sanksi yang ada agar tidak merugikan entitas.

Bagaimana? Apakah entitas/perusahaan Anda sudah laporkan semua? Jika belum, hubungi kami untuk meminimalisir resiko perpajakan Anda secara profesional namun tetap ekonomis.